Tuesday, December 10, 2013

Di Balik Tanggal 1 Mei 2011

Aku terbangun penuh keluh. Mimpi buruk menghantuiku. Sepanjang saat, sepanjang waktu, sepanjang hayatku. Ku ambil nafas yang panjang. Mencoba mencerna lagi, mengapa ini harus terjadi padaku. Kehilangan. Kata yang begitu menyakitkan bahkan bila kita hanya mendengarnya saja. Kehilangan. Kata yang begitu kelam dan gelap bahkan tanpa harus kita melihat. Aku harus kehilangan. Semua pun begitu. Siapapun akan merasakan kehilangan, agar kita mengerti apa rasanya memiliki. Agar kita menghargai, cinta dan kasih orang yang meninggalkan kita. Dan aku. Aku kehilangan figur seorang ayah. Selamanya.

Masa itu begitu kelam. Begitu menyayat namun tak bisa menghilang dari benakku. Hingga kini. Seluruh perasaan terluka itu. Seakan-akan bisa dengan mudah terbuka hanya dengan satu sentilan kecil saja. Bagaimana aku tak lagi bisa menangis karena hati yang begitu terluka. Bagaimana aku tak lagi dapat berdiri karena beban luka yang kupikul terlalu berat. Terlalu berat dan seakan mencekik membunuhku. Aku benar-benar dalam kedukaan. Segalanya terasa berputar. Aku ingin menyusulmu, ayah, saat itu juga.

Raungan dalam ruangan putih itu masih terngiang. Membekas dan aku merana “Papaaaaaa…..” aku menutup mata. Tak membiarkan suara saudara tertuaku satu-satunya menghapus pemikiran kecil kolotku ini. “Papa sedang bercanda. Ia hanya tertidur. Ia akan bangun sebentar lagi”. Ah, bodoh betul sampai-sampai aku bisa berpikir seperti itu. Seperti anak kecil saja. Jelas-jelas tubuhnya telentang damai diatas kasur itu…

Aku tak berani menyentuhnya. Sedikit pun tidak. Bahkan walau dengan jari kelingkingku saja. Aku tak berani memberinya ciuman terakhir. Aku tak mau. Aku tak mau semuanya berakhir. Ini hanya guyonan. Hanya lelucon. Aku harus kembali ke rumah sekarang. Pulang dan menunggu papa kan datang, berlari memelukku lagi. Kan ku tunggu di rumah, pa. Aku tunggu di rumah.

Aku kembali dengan hati kosong, hampa. Aku tak berani mempercayai apapun. Aku tak berani. Ada air yang jatuh dari mataku. Itu bukan tangisan. Aku baru saja menguap. Siapa tahu, bila aku membiarkan diriku seperti tadi, aku akan terbangun dari mimpi buruk ini. “ini kenyataan, bodoh!” ucap jahat pikiranku. Aku pun tak berdaya.

Aku menghubungi semua insan yang juga sama sepertiku, tak percaya dengan berita bodoh ini. Kan, ini tuh cuma mimpi. Buktinya banyak yang tak percaya. Pikiran bodoh itu berusaha menguasaiku lagi. Mengambil kendali akan bagian di dalam otakku. Pikiran bodoh ini berencana menutup kenyataan. Dia mencoba membungkus rapat kenyataan dengan akal bulus dan piciknya. Kali ini aku merasa nyaman dalam hayal mimpi yang bodoh ini. Tapi siapa aku? Berani-beraninya bertahan dalam mimpi. Mengharapkan hidup seperti dalam mimpi. Dalam siaran di tv. Aku harus terbangun! Menghadapi kenyataan yang pahit, kelam, gelap, dan mengerikan.

Papa pulang.

Tapi ia tak berlari memelukku. Ia juga tak datang mencium keningku. Ia terbaring disana. Dan buruknya lagi, ia terbaring dalam kotak coklat seukuran tubuhnya. Aku mengintip ke dalam. Ada dia disana. Terlihat damai dari yang sebelumnya.

Papa…….. bisikku dalam hati

Aku perhatikan lagi dia lebih dekat. Mengenakan baju kerjanya sebagai pendidik. Mata terpejam dan bibir melengkungkan senyuman. Aku tak mungkin bisa melihat mata abu kebiruan itu lagi. Mata abu kebiruan yang menatap hangat kembali mataku. Atau bibir itu yang biasa mengapit sebatang kematian. Aku sadar aku takkan pernah memiliki kesempatan itu lagi. Ya, ku sadar betul. Aku beralih memandang tangan yang kini memegang erat rosario itu. Aku takkan merasakan belaian hangat dari tangan itu lagi. Atau aku takkan merasakan rasa malas ketika ia memintaku untuk memijat kakinya yang pernah patah itu. Kedua kaki itu pun tak lepas dari pandanganku. Papa…. Apapun perlakuan itu, aku akan merindunya.

Aku menatap kesudut. Ada sosok mama disana, yang melayani semua orang yang datang berduyun-duyun mengucapkan belasungkawa dan turut berdukacita. Ia tak menangis. Sedikit pun tidak. Ia tersenyum disana, terlihat begitu tegar di depan semua orang. Aku semakin sedih. Aku semakin terluka. Aku tak akan mungkin sepertinya. Aku takkan mungkin bisa bertahan bila aku harus kehilangan separuh jiwaku. Aku takkan memiliki senyum tulus seperti itu untuk para tamu. Tak mungkin. Takkan pernah mungkin.

Katakan saja aku beruntung memiliki sahabat yang begitu baik. Begitu menyayangiku. Begitu mencintaiku. Mereka hadir disana, memberiku air kesegaran di saat aku begitu merasa haus dalam kehampaan ini. Aku tertawa lepas bersama meraka. Sejenak menyingkirkan pikiran duka. Sejenak kulepas jas kesedihanku. Melepas bagian tubuhku yang terluka dan membiarkan sisanya untuk bersenang-senang. Sebentar saja. Hanya sebentar. Takkan sampai matahari terbenam seluruhnya. Karena aku yakin, ketika mereka kembali, aku takkan memiliki kesempatan untuk bahagia lagi di hari itu.

Malam datang menjemput hari yang begitu mendung. Ia membawa suasana yang lebih kelam dan gelap. Ia menambah keburukan hari ini. Langit oh langit, sampai kapankah kau akan terus menikamku?

Dan aku melihatnya. Melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ketidakrelaan mama meninggalkan papa. Ia berada disana. Dibawah kotak yang menyelubungi papa. Kotak yang memisahkan mereka sehingga mereka tak bisa tertidur bersama. Mungkinkah mama menangis disana? Pemandangan ini membuatku semakin terluka. Oh, sudah berapa banyak lukaku? Sudah, cukup!

Aku takkan pernah lagi mendengar celotehannya. Aku takkan pernah lagi melihatnya menghisap sebatang kematian itu lagi. Aku takkan pernah melihatnya berada di sampingku ketika aku harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan studiku di luar kota. Aku takkan bisa melihatnya memberikan aku rangkaian bunga ketika aku wisuda nanti. Aku takkan melihatnya bertemu dengan separuh jiwaku yang datang melamarku. Aku takkan bisa memintanya memberi ide nama cantik bagi anakku kelak. Takkan bisa memintanya menimang dan menyanyikan lagu tidur untuk cucunya. Takkan bisa melihatnya bermain dengan darah dagingku sendiri. Seketika, aku teringat akan ucapan janjinya…

“Papa janji akan nunggu kamu sampai kamu kuliah, sampai kamu menikah dan punya anak sendiri”

Atau janjinya

“Papa besok pasti akan nganter kamu sampai Jogja. Papa janji. Papa juga janji, kalau kamu sekolah disana, papa akan berhenti merokok”
“Benar ya, pa? Awas kalau enggak”

Aku menjerit penuh tangis dalam hati. Aku menikmati pikiran getir dan janji-janjinya yang takkan pernah ia tepati. Aku pikir, air mata mengerti hatiku, ia jatuh dan menemaniku disana. Bersama, kami menikmati luka yang sama… Tak kusangka pintu terbuka dan mama memelukku dalam tidur.

“Sudah… biarkan papa pergi….”

Esoknya dan esoknya lagi adalah hari terakhirku dapat menatapnya. Ku relakan dia. Aku takkan mendendam pada kematian. Tak juga membenci takdir yang sudah tertulis. Aku merelakannya untuk bisa terus bersamaku walau aku tak dapat melihatnya. Aku dapat merasakan kehadirannya.

Kotak yang menyelimuti tubuh papa pun ditutup. Aku tak sanggup. Kotak itu memasuki mulut yang membara dan menghancurkan tulangnya hingga papa kini berubah menjadi debu dan abu. Aku menjerit. Menangis dan mengais minta tolong. Aku terluka. Sangat terluka. Seakan-akan belati ini terus menusukku bertubi-tubi tepat di jantungku. Kumohon hentikan! Hentikan!

Aku kembali memakai jas ketegaranku. Aku harus menjalani hidupku. Aku harus yakin bahwa ia selalu di sini. Di hatiku. Perlahan, aku mengerti. Ia telah menepati janjinya….


Kau yang disana. Lihatlah, sebuah rahasiaku yang kini juga menjadi rahasiamu. Kau yang disana, bersyukurlah. Untuk setiap nafas yang masih bisa ayahmu miliki. Untuk setiap kata penuh sayang dibalik kemarahannya  padamu. Untuk setiap kepeduliannya dibalik sikap dinginnya. Untuk setiap keringat yang jatuh dari pelipisnya untuk menghidupimu. Kau takkan pernah tahu seberapa dalam luka yang akan tercipta bisa kau kehilangannya. Cintai, sayangi, dan hormati dia. Kau takkan pernah berada sampai sejauh ini tanpanya. Jangan pernah mengeluh karena kau memiliki ayah yang seperti itu. Karena seperti apapun ayahmu saat ini, ia tetaplah ayahmu. Yang mengalirkan darah yang sama denganmu. Yang menurunkan sedikit sifat-sifatnya padamu. Yang menurunkan kemiripan-kemiripannya padamu. Aku iri padamu semua. Iri ketika kau masih bisa menelfon ayahmu, memarahinya karena kau tak mendapatkan apa yang kau mau. Bangun! Apa yang kau mau adalah mereka tetap disana. Membiayaimu dan menyayangimu. Sekejam apapun dia di masa lalu dan di masa sekarang. Cintailah dia selalu. Jangan sampai kau menyesal, ketika kehilangan menghampirimu dan kematian datang menjemput ayahmu. Selamanya.

Wednesday, July 3, 2013

A poem from my heart

so, something just popped up in my head and I made a poem in Indonesian (of course) because I just need to share it or I'll die hehe

apalah arti pendapat gila anak paruh baya
apalah arti ketidaksenangannya terhadap hal tahayul
apalah arti linangan air mata yang membasahi pipinya
disaat semua berbalik tak menghadapnya
perlahan semua tumpah kepijakan

apalah arti kata-kata yang tak terucap di benaknya
apalah arti kaki-kaki yang melangkah rapuh menjauh
apalah arti tangan kecil yang mengusap perlahan mata basah itu
disaat yang ia inginkan tak seperti yang diharapkan
namun ia berani mengambil tindakan menyakitkan

apalah arti manusia hina ini
jika semua mata tak lagi menyiratkan senyum baginya
apalah arti manusia tak berdaya ini
jika semua tangan tak lagi mendekapnya
apalah arti manusia lemah ini
jika semua kaki yang kuat tak mau menopangnya lagi

siapakah manusia ini hingga bisa bermimpi dalam senyum
jika dunia memberikan sebaliknya
siapakah manusia ini hingga ia bisa bertahan dalam kelam
jika dunia tak memberi teman

aku berdiri menghadapnya,
memandangan dengan penuh iba.
aku menangis untuknya,
dengan seluruh hati yang keruh.
aku mengulurkan tangan untuknya,
namun ia hanyalah pantulan di genangan air.
aku berteriak untuknya,
namun teriakan itu tenggelam dalam tawa diatas penderitaan.

apalah artinya aku yang hanyalah anak itu
yang kini telah mati dalam tangis kesedihannya

Tuesday, July 2, 2013

Feel Again

okay so...........hi.

these days my brain was distracted with some random-unsolved-questions just like " where the heck I'm supposed to continuing my study?" and "what kind of major should I take?"
those random question popped up from nowhere just like 2 years ago, when I was in a junior high school and asked myself where should I continue my study. It felt like woah... I feel it again but with some changes like this one is more serious, right?
and I feel like no one could help me to solve it, because these serious questions will somehow bring me to the future. I don't wanna have a big  hole in my life. And choosing a wrong major or university is like a big mistake that you can't undo.
I told mom that I want to go abroad maybe Australia will be nice, but I got this enlightenment 'English is not my main language' CRAP
I know right.
so my mom told me that "it would be hard for you to understand the material while you just have a little information or maybe nothing about the material and you don't really understand the language and blah...blah...blah..."
okay, maybe I never thought about that but what is so wrong about having an experience?
but then I realized, I don't want a big hole in my life which means I should take a good choice.
finally I feel again

Friday, June 7, 2013

Bekas Kaki di Pasir

Kaki-kaki itu melangkah bergairah
Namun wajah mereka mengisyaratkan kekosongan
Kaki-kaki itu memutar arah
Menuju kesenangan
Meninggalkan segala bekas pijakan yang dalam di pasir
Yang entah bagaimana tak hilang bahkan ketika gelombang lautan menerpa
Bekas itu tak semakin dalam tak semakin kabur
Bekas itu seakan kenangan terpahit yang ada
Bukan melulu melihat kebelakang
Tapi memang keadaan tak bisa diperbaiki
Bekas kaki di pasir tak semakin dalam dan tak semakin kabur