Coretan tangan
"Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat" - Pramoedya Ananta Toer
Saturday, September 19, 2015
Mana Teman, Mana Lawan
Tuesday, December 10, 2013
Di Balik Tanggal 1 Mei 2011
Masa itu begitu kelam. Begitu menyayat namun tak bisa menghilang dari benakku. Hingga kini. Seluruh perasaan terluka itu. Seakan-akan bisa dengan mudah terbuka hanya dengan satu sentilan kecil saja. Bagaimana aku tak lagi bisa menangis karena hati yang begitu terluka. Bagaimana aku tak lagi dapat berdiri karena beban luka yang kupikul terlalu berat. Terlalu berat dan seakan mencekik membunuhku. Aku benar-benar dalam kedukaan. Segalanya terasa berputar. Aku ingin menyusulmu, ayah, saat itu juga.
Raungan dalam ruangan putih itu masih terngiang. Membekas dan aku merana “Papaaaaaa…..” aku menutup mata. Tak membiarkan suara saudara tertuaku satu-satunya menghapus pemikiran kecil kolotku ini. “Papa sedang bercanda. Ia hanya tertidur. Ia akan bangun sebentar lagi”. Ah, bodoh betul sampai-sampai aku bisa berpikir seperti itu. Seperti anak kecil saja. Jelas-jelas tubuhnya telentang damai diatas kasur itu…
Aku tak berani menyentuhnya. Sedikit pun tidak. Bahkan walau dengan jari kelingkingku saja. Aku tak berani memberinya ciuman terakhir. Aku tak mau. Aku tak mau semuanya berakhir. Ini hanya guyonan. Hanya lelucon. Aku harus kembali ke rumah sekarang. Pulang dan menunggu papa kan datang, berlari memelukku lagi. Kan ku tunggu di rumah, pa. Aku tunggu di rumah.
Aku kembali dengan hati kosong, hampa. Aku tak berani mempercayai apapun. Aku tak berani. Ada air yang jatuh dari mataku. Itu bukan tangisan. Aku baru saja menguap. Siapa tahu, bila aku membiarkan diriku seperti tadi, aku akan terbangun dari mimpi buruk ini. “ini kenyataan, bodoh!” ucap jahat pikiranku. Aku pun tak berdaya.
Aku menghubungi semua insan yang juga sama sepertiku, tak percaya dengan berita bodoh ini. Kan, ini tuh cuma mimpi. Buktinya banyak yang tak percaya. Pikiran bodoh itu berusaha menguasaiku lagi. Mengambil kendali akan bagian di dalam otakku. Pikiran bodoh ini berencana menutup kenyataan. Dia mencoba membungkus rapat kenyataan dengan akal bulus dan piciknya. Kali ini aku merasa nyaman dalam hayal mimpi yang bodoh ini. Tapi siapa aku? Berani-beraninya bertahan dalam mimpi. Mengharapkan hidup seperti dalam mimpi. Dalam siaran di tv. Aku harus terbangun! Menghadapi kenyataan yang pahit, kelam, gelap, dan mengerikan.
Papa pulang.
Tapi ia tak berlari memelukku. Ia juga tak datang mencium keningku. Ia terbaring disana. Dan buruknya lagi, ia terbaring dalam kotak coklat seukuran tubuhnya. Aku mengintip ke dalam. Ada dia disana. Terlihat damai dari yang sebelumnya.
Papa…….. bisikku dalam hati
Aku perhatikan lagi dia lebih dekat. Mengenakan baju kerjanya sebagai pendidik. Mata terpejam dan bibir melengkungkan senyuman. Aku tak mungkin bisa melihat mata abu kebiruan itu lagi. Mata abu kebiruan yang menatap hangat kembali mataku. Atau bibir itu yang biasa mengapit sebatang kematian. Aku sadar aku takkan pernah memiliki kesempatan itu lagi. Ya, ku sadar betul. Aku beralih memandang tangan yang kini memegang erat rosario itu. Aku takkan merasakan belaian hangat dari tangan itu lagi. Atau aku takkan merasakan rasa malas ketika ia memintaku untuk memijat kakinya yang pernah patah itu. Kedua kaki itu pun tak lepas dari pandanganku. Papa…. Apapun perlakuan itu, aku akan merindunya.
Aku menatap kesudut. Ada sosok mama disana, yang melayani semua orang yang datang berduyun-duyun mengucapkan belasungkawa dan turut berdukacita. Ia tak menangis. Sedikit pun tidak. Ia tersenyum disana, terlihat begitu tegar di depan semua orang. Aku semakin sedih. Aku semakin terluka. Aku tak akan mungkin sepertinya. Aku takkan mungkin bisa bertahan bila aku harus kehilangan separuh jiwaku. Aku takkan memiliki senyum tulus seperti itu untuk para tamu. Tak mungkin. Takkan pernah mungkin.
Katakan saja aku beruntung memiliki sahabat yang begitu baik. Begitu menyayangiku. Begitu mencintaiku. Mereka hadir disana, memberiku air kesegaran di saat aku begitu merasa haus dalam kehampaan ini. Aku tertawa lepas bersama meraka. Sejenak menyingkirkan pikiran duka. Sejenak kulepas jas kesedihanku. Melepas bagian tubuhku yang terluka dan membiarkan sisanya untuk bersenang-senang. Sebentar saja. Hanya sebentar. Takkan sampai matahari terbenam seluruhnya. Karena aku yakin, ketika mereka kembali, aku takkan memiliki kesempatan untuk bahagia lagi di hari itu.
Malam datang menjemput hari yang begitu mendung. Ia membawa suasana yang lebih kelam dan gelap. Ia menambah keburukan hari ini. Langit oh langit, sampai kapankah kau akan terus menikamku?
Dan aku melihatnya. Melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ketidakrelaan mama meninggalkan papa. Ia berada disana. Dibawah kotak yang menyelubungi papa. Kotak yang memisahkan mereka sehingga mereka tak bisa tertidur bersama. Mungkinkah mama menangis disana? Pemandangan ini membuatku semakin terluka. Oh, sudah berapa banyak lukaku? Sudah, cukup!
Aku takkan pernah lagi mendengar celotehannya. Aku takkan pernah lagi melihatnya menghisap sebatang kematian itu lagi. Aku takkan pernah melihatnya berada di sampingku ketika aku harus meninggalkan rumah untuk melanjutkan studiku di luar kota. Aku takkan bisa melihatnya memberikan aku rangkaian bunga ketika aku wisuda nanti. Aku takkan melihatnya bertemu dengan separuh jiwaku yang datang melamarku. Aku takkan bisa memintanya memberi ide nama cantik bagi anakku kelak. Takkan bisa memintanya menimang dan menyanyikan lagu tidur untuk cucunya. Takkan bisa melihatnya bermain dengan darah dagingku sendiri. Seketika, aku teringat akan ucapan janjinya…
“Papa janji akan nunggu kamu sampai kamu kuliah, sampai kamu menikah dan punya anak sendiri”
Atau janjinya
“Papa besok pasti akan nganter kamu sampai Jogja. Papa janji. Papa juga janji, kalau kamu sekolah disana, papa akan berhenti merokok”
“Benar ya, pa? Awas kalau enggak”
Aku menjerit penuh tangis dalam hati. Aku menikmati pikiran getir dan janji-janjinya yang takkan pernah ia tepati. Aku pikir, air mata mengerti hatiku, ia jatuh dan menemaniku disana. Bersama, kami menikmati luka yang sama… Tak kusangka pintu terbuka dan mama memelukku dalam tidur.
“Sudah… biarkan papa pergi….”
Esoknya dan esoknya lagi adalah hari terakhirku dapat menatapnya. Ku relakan dia. Aku takkan mendendam pada kematian. Tak juga membenci takdir yang sudah tertulis. Aku merelakannya untuk bisa terus bersamaku walau aku tak dapat melihatnya. Aku dapat merasakan kehadirannya.
Kotak yang menyelimuti tubuh papa pun ditutup. Aku tak sanggup. Kotak itu memasuki mulut yang membara dan menghancurkan tulangnya hingga papa kini berubah menjadi debu dan abu. Aku menjerit. Menangis dan mengais minta tolong. Aku terluka. Sangat terluka. Seakan-akan belati ini terus menusukku bertubi-tubi tepat di jantungku. Kumohon hentikan! Hentikan!
Aku kembali memakai jas ketegaranku. Aku harus menjalani hidupku. Aku harus yakin bahwa ia selalu di sini. Di hatiku. Perlahan, aku mengerti. Ia telah menepati janjinya….
Kau yang disana. Lihatlah, sebuah rahasiaku yang kini juga menjadi rahasiamu. Kau yang disana, bersyukurlah. Untuk setiap nafas yang masih bisa ayahmu miliki. Untuk setiap kata penuh sayang dibalik kemarahannya padamu. Untuk setiap kepeduliannya dibalik sikap dinginnya. Untuk setiap keringat yang jatuh dari pelipisnya untuk menghidupimu. Kau takkan pernah tahu seberapa dalam luka yang akan tercipta bisa kau kehilangannya. Cintai, sayangi, dan hormati dia. Kau takkan pernah berada sampai sejauh ini tanpanya. Jangan pernah mengeluh karena kau memiliki ayah yang seperti itu. Karena seperti apapun ayahmu saat ini, ia tetaplah ayahmu. Yang mengalirkan darah yang sama denganmu. Yang menurunkan sedikit sifat-sifatnya padamu. Yang menurunkan kemiripan-kemiripannya padamu. Aku iri padamu semua. Iri ketika kau masih bisa menelfon ayahmu, memarahinya karena kau tak mendapatkan apa yang kau mau. Bangun! Apa yang kau mau adalah mereka tetap disana. Membiayaimu dan menyayangimu. Sekejam apapun dia di masa lalu dan di masa sekarang. Cintailah dia selalu. Jangan sampai kau menyesal, ketika kehilangan menghampirimu dan kematian datang menjemput ayahmu. Selamanya.
Wednesday, July 3, 2013
A poem from my heart
yang kini telah mati dalam tangis kesedihannya
Tuesday, July 2, 2013
Feel Again
Friday, June 7, 2013
Bekas Kaki di Pasir
Namun wajah mereka mengisyaratkan kekosongan
Kaki-kaki itu memutar arah
Menuju kesenangan
Meninggalkan segala bekas pijakan yang dalam di pasir
Yang entah bagaimana tak hilang bahkan ketika gelombang lautan menerpa
Bekas itu tak semakin dalam tak semakin kabur
Bekas itu seakan kenangan terpahit yang ada
Bukan melulu melihat kebelakang
Tapi memang keadaan tak bisa diperbaiki
Bekas kaki di pasir tak semakin dalam dan tak semakin kabur
Friday, October 5, 2012
Brand New Me
Anyway mari kita ucapkan syukur karena sekarang i'm officially seventeen! Harusnya sih tanggal 1 updatenya cuman gue mengalami masa pergulatan dulu untuk menjadi the new me =) Kangen banget sama blog ini :") sudah lama gak update makanya gue dateng dengan cuma-cuma.
Cuma mau bilang gak bisa nunggu hari sabtu banget nih! Special kadonya cuma ada pas sabtu! i'll tell you guys later.
See you really soon <3 p="p">3>
Friday, December 30, 2011
I am back!
Gue kangen blog. Itu alesannya kenapa gue nulis ini, dan gue juga lagi gak ngapa-ngapain selain pacaran sama buku ‘manusia setengah salmon’-nya bang Dika. Hidup gue terasa hampa, setidaknya itu yang gue pikirin pas gue berenti baca bukunya hanya untuk sekedar ambil air minum atau melakukan hal kecil lainnya. Udah lama yeeu gue gak nulis? Well, let’s blame to the only one reason behind it, sekolah. Indah banget. Perfect. Betapa gue stress dengan segala macam tugas dan ulangan yang menerpa gue belakangan ini. Tapi itu sesuatu yang indah, gue syukuri itu. Gak tau apa yang merasuki gue sehingga gue ngomong kayak gitu, please jangan bingung, gue sendiri bingung soalnya. Gue lagi liburan sekarang, jadi gue punya waktu lebih lancar dari biasanya eit jangan salah gue punya tugas men. Tugas laknat menanti gue men. Well, just forget about my school life, itu laknat soalnya kalo gue korek lagi-_- jadi gue musti ngomongin apa? Gue lupa.
Gue baru sadar, gue udah 16 taun lajang. Men itu laknat. Saking laknatnya gue sampe berpikir bahwa gue bermasa depan tidak baik. Well, iya gue bilang tidak baik bukan buruk itu beda kawan. Tapi gue sadar setelah temen gue, wea bilang bahwa dia punya bright future, well I have too we. Dan gue mulai piker ulang, ada untungnya juga men jadi lajang, free dari yang namanya sakit hati free dari keterikatan yang menyita waktu dan duit juga sebetulnya. Dan kalo masalah diperhatiin, gue punya nyokap, gue punya keluarga, gue punya temen, gue punya sahabat ngapain gue harus takut gue gak ada yang merhatiin. Itu cuma semacam phobia yang gak penting. Jadi lebih baik buat gue untuk throw those negative thoughts in to the trash bin.
Masalah percintaan, gue mengakui gue angkat tangan tentang itu men, gue udah nyerah, salam bendera putih buat masalah itu. Jadi just let’s talk about my friends lovelife. Mereka itu unyu, yaa bisa dikatakan kayak gitu. Bukan, bukan anjing or what so ever arti dari kata unyu itu, maksud gue itu lucu. Gatau tapi lucu aja mereka, pas lagi single mereka bilang ‘bosen ya jadi single’ ‘kangen mantan’ tapi ada juga yang awalnya bilang ‘single itu asik’ tapi beberapa hari kemudian mereka harus jilat ludah sendiri dengan mengatakan ‘single itu sepi’ men, gue tau kalian masih remaja tapi labil lu itu udah dewa banget. Atau pas lagi in relationship awalnya bahagia gitu ya, tulis personal message bbm atau msn atau ym atau bahkan di twitter itu isinya berbunga-bunga terus. Padahal baru hari itu jadian, mereka gatau bahaya jenis apa yang nunggu didepan mereka. Dan bener aja baru berapa minggu gitu ya atu gak nyampe 1 bulan udah nangis aja temen gue. Gue cuma bisa ngempet ketawa ngeliat mereka yang hopelessly nangis dibawah selimut. Trus update status bilang ‘single itu lebih baik’ or something like that. Damn. Sorry bukan maksud ngomong kasar tapi please deh guys kalian harusnya bersyukur punya pasangan bandingin ama gue yang 16 tahun single. Duh rasanya pengen gue jambak rambut mereka dan bilang kayak gitu tadi. Guys, looks around you. Kenapa kalian sukanya ngeluh disaat ada yang lebih kurang dibanding kalian. Gak cuma hal cinta masih banyak hal lain. Dan gue bingung. Bingung maksimum. Mending kalian ambil tali trus cari pohon cabe terdekat.
Akhirnya gue ngerti, oh iya mendingan gue tetap single, karena kalo udah pacaran itu repot, cape hati, cape pikiran, ngabisin waktu, ngabisin duit, dan yang terpenting susah untuk jadi diri sendiri kalo pacaran. Kalo nanti makan banyak tru gendut di complain gendut sama cowonya ngambek kalo di complain kekurusan juga ngambek. Susah deh, mending nanti kalo udah siap mental dan siap otak.